Rabu, 11 Januari 2012

agama dan masyarakat

  1. A. Pengertian Agama Dan Masyarakat

Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya.

Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.
  • Islam : Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.
  • Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit.
  • Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu.
  • Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
  • Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.
  • Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual.
  1. A. Fungsi-Fungsi Agama
Tentang Agama
Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang buruk.
Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Mengapa ada yang Takut pada Agama?
Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan Tuhan.
Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba terbatas.
Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam mekanisme supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang mereka miliki menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.
Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya.
Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang bersifat universal, mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan realita ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru karena jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya.

  1. B. Pelembagaan Agama

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
sumber : http://obyramadhani.wordpress.com/2009/11/20/agama-dan-masyarakat/

ilmu pengetahuan teknologi dan masyarakat

Pendahuluan
Propenas Tahun 2000-2004 menuntut IPTEK berperan dalam percepatan pemulihan ekonomi untuk memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan serta membangun kesejahteraan rakyat dan ketahanan budaya. Pembangunan IPTEK ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka membangun peradaban bangsa. Pembangunan IPTEK tidak saja penting sebagai sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi, tetapi juga sumber terbentuknya iklim inovasi dan menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitas sumber daya manusia. IPTEK menentukan tingkat efektivitas dan efisiensi proses transformasi sumber daya menjadi sumber daya baru yang lebih bernilai. Terlihat cukup  jelas bahwa masa depan pembangunan ekonomi suatu negara semakin banyak  bersandar pada inovasi dalam IPTEK. Tanpa kemampuan melakukan strategi komunikasi yang memadai dan didukung informasi ilmiah ke dalam sebuah tahapan pengambilan keputusan, perkembangan suatu negara di masa depan dapat terhambat. Ketika memegang jabatan perdana menteri pertama India pasca kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1947, Jawaharlal Nehru menyusun sebuah portofolio IPTEK untuk India yang kemudian diteruskan oleh Rajiv Gandhi yang berisi rancangan integrasi perencanaan ilmiah dengan perencanaan ekonomi pada tahun 1971.
IPTEK memegang peranan penting bagi negara-negara berkembang dalam proses peningkatan standar hidup, kesejahteraan, dan melindungi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Negara-negara berkembang menghadapi berbagai tantangan jangka pendek dan jangka panjang. Perubahan penggunaan lahan melalui penggundulan hutan dan perubahan lahan pertanian akibat aktivitas sosio-ekonomi di daerah tangkapan air di hulu, telah menyebabkan terjadinya berbagai kerusakan lingkungan dan infrastruktur akibat bencana yang ditimbulkannya. Kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air, menyebabkan kelangkaan air bersih di berbagai negara, selain bencana banjir ketika musim penghujan.
Komunikasi IPTEK
Pada abad ke-17, Robert Boyle adalah salah satu ilmuwan pertama yang melakukan percobaan ilmiah untuk menguji hipotesisnya. Dia berasumsi bahwa masyarakat akan mempercayai suatu penemuan ilmiah baru apabila penemuan tersebut dapat divisualisasikan kepada masyarakat. Boyle kemudian mengundang beberapa orang ke laboratoriumnya dan menjelaskan penemuan ilmiahnya. Boyle meyakini bahwa sebuah percobaan ilmiah dapat sahih apabila masyarakat mempercayai apa yang mereka lihat, dan mereka dapat menguji hipotesis dan metodologi yang digunakan pada eksperimen ilmiah. Boyle juga berasumsi bahwa percobaan ilmiah yang dipresentasikan secara visual menghasilkan pengetahuan baru tidak hanya kepada yang menyaksikan, namun juga kepada lingkungan sosial yang lebih luas.
Komunikasi IPTEK terhadap masyarakat dan pemahaman masyarakat terhadap IPTEK merupakan subyek riset yang relatif baru di lingkungan akademis, namun berkembang untuk dipelajari lebih lanjut untuk mendukung proses pengambilan kebijakan publik. Pemahaman yang baik terhadap dinamika kompleksitas IPTEK dan interaksi IPTEK dengan masyarakat, berguna dalam peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap IPTEK dan akhirnya berkembang menjadi suatu sistem pengelolaan dan kontrol sosial masyarakat terhadap IPTEK. Beberapa istilah telah digunakan dalam pendefinisian komunikasi IPTEK antara lain: pemahaman publik terhadap IPTEK, kesadaran publik terhadap IPTEK, dan difusi sosial terhadap IPTEK. Sejalan dengan waktu, tujuan utama komunikasi IPTEK berkaitan dengan tiga aspek utama. Pertama, aspek politik. Hasil akhir suatu inovasi IPTEK mempunyai spesifikasi tersendiri di dalamnya, yaitu terminologi, institusi, sistem verifikasi, dsb. Spesifikasi tersebut akhirnya membangun sebuah pembatas tidak terlihat antara IPTEK dengan masyarakat. Komunikasi IPTEK bertujuan untuk mencapai suatu keterkaitan antara masyarakat dengan IPTEK. Aspek kedua adalah aspek kognitif. Dalam komunikasi IPTEK, perangkat komunikasi atau penyampai informasi yang digunakan akan disesuaikan untuk menciptakan jaminan terjadinya pemahaman dan penerimaan masyarakat awam terhadap IPTEK. Sedangkan aspek ketiga adalah aspek kreativitas, yang membantu perkembangan kecerdasan dan kapabilitas masyarakat sehingga menghasilkan kemampuan dalam mengintegrasikan IPTEK ke kehidupan sehari-hari.
Teori Komunikasi IPTEK
Massimiano Bucchi, seorang ilmuwan sosiologi, menekankan pendekatan alternatif komunikasi IPTEK. Bucchi bergumen mengenai pentingnya penerjemahan linguistik dalam proses alih informasi dari ilmuwan kepada masyarakat. Dia memformulasikan suatu teorema yang disebut communication continuum (Gb.1), untuk memberikan argumentasi terhadap model linier komunikasi dimana penerima informasi bersikap pasif. Dia mengindentifikasikan bentuk-bentuk komunikasi IPTEK menjadi empat tingkatan utama.
  • Tingkatan pertama. Merupakan tingkatan dengan dimensi tertinggi, yaitu tingkatan Intraspesialistik yang merupakan bentuk komunikasi dan penyampaian infomrasi di antara ahli-ahli dalam bidang riset spesifik yang sama. Contohnya, artikel di sebuah jurnal ilmiah.
  • Tingkatan kedua, adalah tingkatan Interspesialistik, merupakan bentuk komunikasi antara ahli-ahli dalam suatu disiplin keilmuan yang sama, namun berbeda dalam topik riset. Contohnya, artikel interdisipliner dalam jurnal ilmiah.
  • Tingkatan ketiga, yaitu tingkatan Pedagogik. Dalam tingkatan ini, teorema dan postulat suatu topik ilmiah telah berkembang maju dan dapat dikonsolidasikan menjadi sebuah kumpulan teorema dan postulat yang akurat.
  • Tingkatan keempat, yang merupakan tingkatan terakhir, adalah tingkatan Populer. Contoh yang cukup umum adalah artikel ilmiah singkat dalam surat kabar atau majalah umum, maupun film dokumenter ilmiah di saluran TV. Dalam tingkatan ini, bentuk komunikasi IPTEK disajikan ke dalam visualisasi gambar-gambar metafora dengan bahasa yang mudah dipahami publik

Presepsi Masyarakat terhadap IPTEK
IPTEK memainkan peran penting sebagai sebuah agen pembaharu di masyarakat. Sebagai bangsa yang bergerak ke arah ekonomi berbasis pengetahuan, dibandingkan ekonomi berbasis sumber daya alam sesuai dengan paradigma tekno-ekonomi, IPTEK menjadi landasan keberhasilan pembangunan ekonomi yang didukung oleh kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia yang kompetitif. Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan IPTEK sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. UU No. 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK mengamanatkan tanggung jawab penelitian bukan lagi monopoli pemerintah, tapi juga menuntut peran serta masyarakat. Sehingga, masyarakat pada akhirnya dituntut mempunyai wawasan memadai untuk memahami IPTEK. IPTEK akan berkembang secara cepat  dan diskusi mengenai isu-isu yang timbul dari perkembangan tersebut sangat penting. Beberapa negara di belahan benua eropa telah mengalami berbagai tantangan dalam menangani isu-isu kontroversial, contohnya: rekayasa genetika. Negara-negara tersebut memperoleh  pelajaran berharga dalam usahanya  untuk memperkenalkan dan melibatkan masyarakat umum terhadap IPTEK. Masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan berargumen bahwa IPTEK sangat esensial untuk masyarakat yang berpendidikan lebih rendah, namun seperti yang diungkapkan Waldegrave, ”Some see science, and the method of science, as systematically destructive of everything which makes life worth living.”. Pendapat serupa diungkapkan oleh Carl Sagan, ”It is suicidal to create a society dependent upon S&T in which hardly anybody knows about S&T.”.
Dalam masyarakat yang dinamis, sikap dan pandangan lebih penting daripada proses penerimaan suatu informasi bernuansa IPTEK. Individu di dalam suatu komunitas masyarakat akan bersikap atau bereaksi terhadap suatu situasi dan kondisi sosial tergantung segi kualitas materi informasi IPTEK. Sehingga strategi komunikasi IPTEK mempunyai ruang lingkup lebih luas dan mencakup aspek interaksi antara masyarakat dengan IPTEK. Studi mengenai pendekatan dan indikator pemahaman masyarakat tentang IPTEK umumnya terdiri tiga unsur pokok yang saling berkaitan antara satu sama lain: ketertarikan, pengetahuan, dan perilaku (Gb. 2).
Indikator unsur ketertarikan bertujuan untuk mengukur hubungan masyarakat dengan perkembangan IPTEK. Indikator pengetahuan bertujuan untuk mengukur tingkatan pemahaman masyarakat terhadap perkembangan IPTEK. Indikator ini berkaitan dengan hubungan antara IPTEK dan media massa yang juga mengukur derajat keberhasilan komunikasi IPTEK terhadap masyarakat dan mengetahui sumber informasi yang paling sering digunakan masyarakat untuk mendapatkan informasi IPTEK, seperti TV, radio, koran, majalah, internet, museum, dll. Sedangkan indikator perilaku mencakup perilaku dan penerimaan masyarakat terhadap proses pendanaan suatu inovasi IPTEK serta presepsi masyarakat terhadap keuntungan dan resiko penerapan inovasi IPTEK tersebut. Namun studi-studi tersebut menghadapi kendala bagaimana mendesain langkah evaluasi dan interpretasi presepsi dan pemahaman masyarakat terhadap IPTEK, atau umumnya disebut budaya IPTEK. Terdapat beberapa model pendekatan yang berkembang untuk memahami presepsi dan pemahaman masyarakat terhadap IPTEK.
Model Komunikasi IPTEK
Model komunikasi IPTEK yang berkembang s.d. saat ini dikenal sebagai ”model difusi linier” atau juga dikenal sebagai ”model defisit” (Gb. 3), yang merupakan ciri khas masyarakat Anglo-Saxon dalam mempelajari komunikasi IPTEK. Model defisit berlandaskan hipotesis bahwa pengetahuan bernuansa IPTEK mempunyai parameter yang dapat mengukur seberapa banyak suatu informasi IPTEK dapat diserap oleh setiap individu. Model defisit juga mengasumsikan bahwa masyarakat adalah peserta pasif  yang mempunyai knowledge gap dan sepatutnya diisi dengan informasi IPTEK. Model ini merupakan top-down model dimana pengetahuan ilmiah hanya berjalan satu arah, dari ilmuwan kepada masyarakat. Dengan demikian model ini merupakan model linier seperti yang biasa digunakan di masa lampau untuk menganalisa kemajuan IPTEK. Model defisit hanya dapat menjelaskan secara parsial kompleksitas pemahaman dan presepsi masyarakat terhadap IPTEK. Sehingga terdapat terdapat beberapa kelemahan subtansial, antara lain:
  • Dengan memperlakukan masyarakat mempunyai respon pasif dalam pemahaman dan presepsi terhadap IPTEK, model defisit tidak dapat memberikan motivasi atau pengertian aktif-konstruktif dalam pengolahan informasi IPTEK terhadap masyarakat
  • Model defisit tidak memperlakukan budaya IPTEK sebagai suatu proses dinamis dan sosial tapi lebih menekankan pada karakteristik individu penerima pengetahuan IPTEK. Bertolak belakang terhadap kenyataan bahwa pemahaman masyarakat terhadap IPTEK bergantung kepada konteks sosial dimana informasi IPTEK menjadi lebih operasional.
  • Model defisit juga memperlakukan komunikasi IPTEK hanya sebagai alur komunikasi satu arah namun tidak memperhitungkan proses timbal balik yang dinamis.
Model defisit mendapat kritik dalam beberapa dekade belakangan. Sehingga, terdapat beberapa alternatif model pendekatan yang berkembang untuk melengkapi kekurangan model defisit, antara lain:
  • Model kontekstual. Model ini sering digunakan dalam studi respon dan presepsi masyarakat terhadap resiko IPTEK, yang menekankan bahwa individu penerima informasi IPTEK bukan sebagai entitas pasif. Namun individu tersebut melakukan proses reinterpretasi dalam konteks budaya dan nilai yang berkembang di sekitarnya.
  • Lay expertise model. Model ini mengedepankan peran kearifan lokal dan adat istiadat masyarakat yang beragam dalam interpretasi dan mendayagunakan informasi IPTEK.
  • Model partisipasi masyarakat. Model ini melihat bahwa ketidakmampuan masyarakat untuk memahami IPTEK disebabkan oleh wawasan dan pengertian yang berkembang di masyarakat akibat pengaruh budaya dan adat, daripada menyalahkan masyarakat secara langsung. Sehingga proses komunikasi IPTEK tidak hanya memberikan informasi IPTEK semata, namun lebih membangun pemikiran kritis yang memungkinkan masyarakat untuk mengevaluasi perkembangan IPTEK sesuai dengan relevansi sosial.
  • Model jaring. Model ini menyoroti interaksi kompleks yang saling mempengaruhi antara komunikasi IPTEK di antara ilmuwan dan komunikasi IPTEK terhadap masyarakat.
Budaya IPTEK
Ketika berbicara budaya IPTEK, terdapat tiga kemungkinan struktur linguistik dalam pengungkapannya, antara lain:
Budaya IPTEK. Terdapat dua kemungkinan,
o    Budaya yang diciptakan oleh IPTEK
o    Budaya IPTEK itu sendiri
Budaya melalui IPTEK. Terdapat dua kemungkinan,
o    Budaya dengan cara IPTEK
o    Budaya yang menyokong IPTEK
Budaya untuk IPTEK. Terdapat dua kemungkinan,
o    Budaya yang digerakkan untuk produksi IPTEK
o    Budaya yang digerakkan untuk sosialisasi IPTEK
Pada poin terakhir juga terdapat dua kemungkinan,
o    Difusi ilmiah dan pendidikan ilmuwan
o    Bagian pendidikan yang tidak terkandung pada difusi ilmiah dan pendidikan ilmuwan. Contoh: sistem belajar-mengajar sekolah menengah, pendidikan sarjana, dan pendidikan untuk umum.
Perbedaan tersebut di atas tidak mencakup keseluruhan interaksi yang mungkin terjadi antara masyarakat dengan topik IPTEK dalam suatu sistem kemasyarakatan, namun perbedaan tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang jelas terhadap kompleksitas semantik yang terlibat dalam pengungkapan budaya IPTEK dan fenomena yang disebut sebagai ”masyarakat ilmiah”. Budaya IPTEK sebagai suatu proses dinamis dapat dijelaskan sebagai apa yang disebut dengan spiral budaya IPTEK (Gb. 4). Sumbu horisontal menunjukkan waktu dan sumbu vertikal menunjukkan spasial, serta kategori masing-masing kuadran yang berjalan dinamis, searah jarum jam.


sumber : http://rendramio.wordpress.com/2010/10/11/pemahaman-masyarakat-terhadap-ilmu-pengetahuan-dan-teknologi/